SORAKLINTERA, SUNGAI PENUH – Sejumlah pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sumur Gedang resmi mengundurkan diri. Pengunduran diri ini dipicu dugaan kuat adanya penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Desa yang dinilai terlalu menguasai seluruh keputusan, termasuk keuangan BUMDes.
Menurut keterangan salah satu pengurus, BUMDes semestinya diberikan kewenangan penuh kepada pengurus dalam pengelolaan usaha dan aset desa. Hal ini sejalan dengan Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menegaskan bahwa “BUMDes dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan” serta dijalankan oleh kepengurusan yang diberi kewenangan penuh oleh musyawarah desa.
Selain itu, Pasal 8 ayat (1) Permendesa PDTT Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, dan Pengelolaan BUMDes dengan jelas menyebutkan bahwa “Pengurus BUMDes bertanggung jawab atas pengelolaan BUMDes secara operasional dan administratif”. Artinya, Kepala Desa tidak seharusnya mengambil alih kewenangan yang sudah diatur undang-undang.
“Namun di Desa Sumur Gedang, semua keputusan justru berada di tangan Kepala Desa. Kami tidak diberi ruang untuk menjalankan peran sebagaimana mestinya. Ini jelas bertentangan dengan aturan hukum yang ada,” ungkap salah seorang pengurus.
Tidak hanya itu, pengurus juga menyoroti masalah pergantian staf desa yang kerap terjadi. Dalam kurun satu tahun terakhir, pergantian staf dilakukan berkali-kali tanpa alasan transparan. Fenomena ini menimbulkan dugaan adanya maladministrasi serta pola kepemimpinan yang tidak sehat.
Dengan kondisi tersebut, para pengurus mendesak pihak Kecamatan, Dinas PMD, hingga Inspektorat Kota Sungai Penuh untuk segera turun tangan melakukan pemeriksaan menyeluruh, baik terhadap tata kelola pemerintahan desa maupun pengelolaan BUMDes.
Jika benar terbukti terjadi penyalahgunaan wewenang, maka tindakan Kepala Desa tersebut berpotensi melanggar Pasal 26 ayat (4) huruf f UU Desa, yang mewajibkan Kepala Desa “menerapkan prinsip tata pemerintahan yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.”
Lebih jauh, apabila dalam pengelolaan BUMDes ditemukan indikasi penyalahgunaan anggaran, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, persoalan ini tidak hanya sebatas maladministrasi, tetapi juga berpotensi menyeret pihak terkait ke ranah hukum pidana.
Masyarakat menegaskan, pemeriksaan menyeluruh sangat penting dilakukan untuk memastikan tidak terjadi kerugian negara dan agar kepercayaan publik terhadap pemerintahan desa kembali ditegakkan. (Glen)
0 Komentar