Pendekatan Kolaboratif dan Progresif, TPS 3R dan Panggung Politik Kebersihan


SORAKLINTERA, OPINI - Pernyataan Kepala Daerah Kab/Kota, bahwa program Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R) bukan warisan pemerintahan sebelumnya, melainkan mandat langsung dari Undang-Undang, ibarat granat kecil yang meledak di tengah ruang birokrasi. Disampaikan di hadapan jajaran SKPD, camat, lurah, hingga kepala desa, pernyataan itu bukan sekadar arahan teknis, tapi isyarat politik yang kuat—kritik implisit terhadap arah kebijakan masa lalu.

Secara hukum, pernyataan tersebut tidaklah keliru. UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah memang menjadi dasar legal yang kokoh bagi pelaksanaan TPS 3R. Namun dari perspektif komunikasi politik, pernyataan tersebut mengandung nada lain—seperti pesan yang hendak mempertegas batas antara kepemimpinan masa lalu dan arah baru yang tengah dibangun hari ini. 

Sebuah manuver retoris yang tampaknya lebih dari sekadar klarifikasi hukum; mungkin juga sindiran tajam, atau bahkan upaya simbolik untuk membersihkan panggung demi memulai babak politik baru yang lebih “bersih”.

Namun pertanyaannya : mengapa harus ditekankan bahwa ini bukan program pemerintahan sebelumnya? Mengapa tidak langsung menyuarakan urgensi substansi—yakni percepatan dan penguatan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan? Apakah ini strategi komunikasi, klarifikasi, atau bentuk positioning politik yang disengaja?

Dalam birokrasi yang seringkali dibangun atas dasar loyalitas personal dan historis, pernyataan semacam ini berisiko memicu resistensi diam-diam. 

Mereka yang merasa disinggung bisa saja menarik diri secara pasif, menghambat kerja kolektif yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk isu besar seperti pengelolaan sampah.

Padahal, pendekatan yang lebih kolaboratif dan progresif akan jauh lebih produktif. Penegasan terhadap pentingnya TPS 3R seharusnya tidak menjadi ajang untuk mengukuhkan klaim politik, melainkan ruang untuk menghidupkan semangat kerja lintas generasi. Karena kota yang bersih tak dibangun dengan pujian atau sindiran, melainkan dengan kesinambungan komitmen dan kerja nyata di segala level pemerintahan.

Masalah sampah bukan sekadar urusan teknis, tetapi tantangan sosial, budaya, dan politik yang memerlukan pendekatan menyeluruh. Di sinilah pentingnya strategi yang kolaboratif dan progresif—dua kata kunci yang harus menjadi fondasi dalam membangun sistem pengelolaan sampah yang efektif dan berkelanjutan.

Kolaboratif berarti membuka ruang partisipasi seluas-luasnya. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Peran masyarakat, pelaku usaha, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil harus diakui sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan. Edukasi publik, insentif ekonomi, serta pelibatan komunitas lokal dalam mengelola TPS 3R adalah bentuk nyata dari kolaborasi itu.


Sementara progresif menuntut keberanian untuk keluar dari cara lama yang stagnan. Ini menyangkut inovasi dalam teknologi pengolahan, integrasi sistem digital dalam pemantauan dan distribusi sampah, serta keberanian dalam menegakkan regulasi tanpa pandang bulu. Termasuk, memperbaiki tata kelola kelembagaan agar tidak tumpang tindih dan berjalan dalam arah yang sama.

Pendekatan ini juga menekankan pentingnya kesinambungan. Tidak ada gunanya program unggulan jika berganti kepala daerah berarti berganti visi dan kebijakan. Maka, pengelolaan sampah harus dilihat sebagai kerja lintas waktu dan kepemimpinan. Yang satu merintis, yang lain melanjutkan dan menyempurnakan.

Dengan semangat kolaboratif dan progresif, pengelolaan sampah tidak akan lagi menjadi beban, melainkan peluang—untuk menciptakan lapangan kerja hijau, memperkuat ekonomi sirkular, dan menjadikan kebersihan sebagai identitas kota.

Pernyataan keras bisa menggugah, tapi tanpa eksekusi yang adil, terukur, dan melibatkan semua pihak, ia hanya akan tercatat sebagai bagian dari panggung politik yang nyaring tapi kosong. Panggung yang lebih sibuk membangun citra ketimbang sistem. Sementara itu, tumpukan sampah tetap tak berpindah tempat, dan harapan masyarakat untuk kota yang sehat pun kembali menjadi slogan yang tak selesai. (*)

Oleh :

Tim Redaksi Soraklintera.

0 Komentar