Menjaga Warisan Leluhur : Pelestarian Kebudayaan Masyarakat Kabupaten Kerinci

SORAKLINTERA, KERINCI - Kabupaten Kerinci, yang terletak di ujung barat Provinsi Jambi, bukan hanya dikenal dengan keindahan alamnya yang memesona, seperti Danau Kerinci dan Gunung Kerinci, tetapi juga dengan kekayaan budaya yang hidup dan berakar kuat dalam masyarakatnya. Kerinci adalah rumah bagi tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun—dari sastra lisan, tarian, pakaian adat, hingga ritual keagamaan yang mencerminkan identitas khas masyarakat pegunungan Sumatra.

Namun di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, pelestarian kebudayaan Kerinci menghadapi tantangan serius. Budaya lokal berisiko tergeser oleh budaya populer yang lebih dominan secara media dan ekonomi. Di sinilah urgensi pelestarian muncul—bukan sekadar mempertahankan romantisme masa lalu, tapi memastikan jati diri masyarakat tetap kokoh di tengah perubahan zaman.

Pelestarian budaya di Kerinci harus dimulai dari kesadaran kolektif masyarakat bahwa budaya bukan beban, melainkan aset. Bahasa Kerinci, misalnya, yang memiliki dialek unik di setiap wilayah adat, harus diajarkan kembali kepada generasi muda melalui pendidikan formal maupun informal. Demikian juga dengan kesenian tradisional seperti Tari Inai, Tari Sekapur Sirih, serta alat musik seperti gambus dan rebab, perlu diberikan ruang tampil secara rutin, baik di panggung lokal maupun nasional.

Peran pemerintah daerah juga sangat penting. Regulasi dan kebijakan afirmatif yang mendukung pelaku budaya, pengarsipan pengetahuan lokal, dan festival budaya tahunan harus terus dikembangkan. Kolaborasi antara tokoh adat, akademisi, dan komunitas pemuda juga menjadi kunci keberhasilan pelestarian budaya yang inklusif dan berkelanjutan.

Lebih dari itu, pelestarian budaya harus terhubung dengan pembangunan ekonomi kreatif. Produk-produk lokal seperti kerajinan tangan, tenun tradisional, dan kuliner khas Kerinci bisa dikembangkan sebagai identitas ekonomi yang berpijak pada nilai budaya. Dengan begitu, pelestarian tidak hanya menjadi kegiatan simbolik, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi kesejahteraan masyarakat.

Kerinci adalah tanah yang kaya—bukan hanya oleh hasil alam, tapi oleh nilai-nilai yang hidup dalam tradisi dan adat istiadatnya. Menjaga kebudayaan Kerinci berarti menjaga jati diri, sejarah, dan masa depan masyarakatnya. Warisan leluhur bukan untuk disimpan dalam museum, melainkan untuk dihidupkan kembali dalam kehidupan sehari-hari.

Kerinci dikenal sebagai wilayah dengan kekayaan budaya yang mendalam.  Masyarakat Kerinci memiliki beragam tradisi dan warisan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun, mencerminkan identitas dan jati diri. 

1. Tari Ngagah Imau: Warisan Budaya yang Mendunia

Salah satu warisan budaya yang menonjol dari Kerinci adalah Tari Ngagah Imau, yang Tari ini terinspirasi dari ritual Ngagah Imau di Desa Koto Tuo Pulau Tengah, Kecamatan Keliling Danau.  Seiring waktu, tari ini telah berkembang dan sering dipertunjukkan dalam berbagai festival, baik di dalam maupun luar Provinsi Jambi, seperti Festival Danau Kerinci, Festival Batanghari, dan Tour de Singkarak.  Pada tahun 2017, Tari Ngagah Imau meraih peringkat kedua sebagai atraksi budaya terpopuler dalam Anugerah Pesona Indonesia.  

2. Alat Musik Tradisional: Gong Buluh

Gong Buluh adalah alat musik bambu tradisional yang digunakan dalam upacara adat masyarakat Suku Kerinci.  Namun, alat musik ini kini jarang ditemui dan dimainkan.  Upaya pelestarian dilakukan oleh komunitas Gong Buleuh Alam Sakti, yang memainkan Gong Buluh dengan latar belakang rumah adat Suku Kerinci, 'umoh laheik', di Seleman, Danau Kerinci.  

3. Tradisi Kenduri Sko: Identitas yang Mulai Memudar

Kenduri Sko adalah upacara adat yang menjadi identitas masyarakat Kerinci.  Namun, tradisi ini mulai memudar di beberapa daerah, Faktor penyebabnya antara lain kurangnya perhatian dari pemangku adat dan pemerintah setempat, serta minimnya kesadaran generasi muda terhadap pentingnya pelestarian budaya.  

4. Museum Kerinci: Menjaga Sejarah dan Budaya

Museum Kerinci didirikan dengan tujuan melestarikan nilai sejarah, adat istiadat, tradisi, dan kebudayaan masyarakat Kerinci, termasuk peninggalan benda cagar budaya.  Namun, museum ini menghadapi kendala seperti konflik lahan dan minimnya koleksi.  Hingga saat ini, Museum Kerinci masih berupaya mengumpulkan benda-benda yang diduga sebagai cagar budaya untuk dijadikan koleksi.  

5. Bahasa dan Aksara Incung: Warisan yang Terancam

Bahasa Kerinci dan aksara Incung merupakan bagian integral dari budaya masyarakat Kerinci.  Namun, penggunaan bahasa dan aksara ini semakin berkurang, terutama di kalangan generasi muda.  Upaya pelestarian dilakukan melalui pendidikan, seperti mewajibkan siswa mengikuti pelajaran bahasa Kerinci dan pelatihan untuk guru dalam mengajarkan aksara Incung.  

Selain itu juga selaku warga kerinci haruslah melekat nilai-nilai adat Kabupaten Kerinci yang seharusnya diamalkan oleh setiap warga Kerinci, karena menjadi fondasi kultural dan sosial dalam kehidupan masyarakatnya:

1. “Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah”

Ini adalah falsafah utama dalam adat Kerinci yang mencerminkan integrasi antara adat dan ajaran Islam. Nilai ini mengajarkan bahwa setiap tindakan dalam adat harus sesuai dengan nilai-nilai agama, dan sebaliknya, agama memperkuat adat sebagai pedoman hidup bermasyarakat.

2. Musyawarah dan Mufakat

Pengambilan keputusan dalam masyarakat adat Kerinci selalu dilakukan melalui musyawarah, baik dalam skala keluarga, dusun, hingga wilayah adat. Nilai ini menekankan pentingnya kebersamaan, kesetaraan suara, dan menjauhi dominasi satu pihak.

3. “Bersendi Tegak di Nan Tuo” (Hormat pada yang tua)

Menghargai dan mendengarkan para tetua adat adalah hal yang sangat dijunjung tinggi. Para pemangku adat, ninik mamak, dan orang tua dianggap sebagai penjaga nilai, penuntun arah, dan sumber kearifan.

4. Gotong Royong (Bebedayo / Bejulo)

Gotong royong adalah bagian integral dari kehidupan sosial, baik dalam membangun rumah, membersihkan lingkungan, ataupun dalam acara adat. Nilai ini mencerminkan solidaritas dan semangat kolektif antarwarga.

5. Menjaga Alam dan Tanah Ulayat

Masyarakat Kerinci memiliki hubungan sakral dengan alam. Hutan, danau, dan tanah ulayat dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dijaga dan tidak boleh dieksploitasi sembarangan. Nilai ini mendorong pelestarian lingkungan hidup sebagai bagian dari warisan budaya.

6. Kesopanan dan Tata Krama

Adat istiadat Kerinci sangat menekankan etika dalam berbicara dan bertindak, terutama dalam konteks sosial dan kekeluargaan. Setiap individu diajarkan untuk menjaga ucapan, merendah, dan tidak arogan.

7. Menjaga Marwah dan Nama Baik Keluarga

Setiap tindakan individu dianggap membawa nama baik keluarga dan suku. Oleh karena itu, warga Kerinci diajarkan untuk bertindak terhormat, jujur, dan menghindari konflik yang mencoreng martabat komunitas.

8. Patuh pada Hukum Adat dan Lembaga Adat

Lembaga adat seperti Depati, Ninik Mamak, dan Lembaga Kerapatan Adat masih berperan penting dalam menyelesaikan konflik dan memelihara ketertiban sosial. Kepatuhan terhadap hukum adat menjadi bentuk penghargaan terhadap sistem yang sudah teruji secara turun-temurun.

9. Tali Tigo Sepilin, Tungku Tigo Sajarangan

Ini adalah prinsip kolektif yang mencerminkan keseimbangan antara tiga unsur utama dalam masyarakat: pemimpin adat (ninik mamak), pemerintah (pemangku negeri), dan agama (ulama). Nilai ini menekankan kerja sama antara ketiganya untuk menjaga keharmonisan hidup.

Nilai-nilai ini bukan hanya simbol tradisi, tetapi juga pedoman etika dan perilaku yang membentuk karakter masyarakat Kerinci: religius, sopan, peduli, dan komunal. Menjaga dan menghidupi nilai-nilai adat berarti menjaga identitas dan keberlanjutan peradaban Kerinci itu sendiri. (*)

0 Komentar