Manusia sebagai Makhluk Kritis dalam Perspektif Hukum Islam



KERINCI - Abstrak, Artikel ini mengkaji hakikat manusia sebagai makhluk kritis dalam perspektif hukum Islam. Islam memposisikan manusia sebagai agen rasional yang memiliki akal, kehendak bebas, dan tanggung jawab moral, yang menjadikannya subjek hukum (mukallaf) yang aktif, bukan pasif. Dengan landasan wahyu, rasio, dan tradisi intelektual, hukum Islam mendorong keterlibatan kritis umat dalam penegakan keadilan dan amar ma’ruf nahi munkar. Studi ini juga menampilkan pandangan para ulama dan mazhab sebagai referensi keilmuan.

Pendahuluan, Manusia adalah pusat perhatian dalam hukum Islam (syariah), karena hukum itu sendiri diturunkan demi kemaslahatan manusia. Namun, tidak semua sistem hukum mengakui kapasitas manusia untuk bersikap kritis terhadap norma hukum. Islam justru menjadikan akal sebagai pilar penting dalam interaksi antara manusia dan hukum, sekaligus membuka ruang bagi pembaruan hukum melalui metode ijtihad.

Akal sebagai Dasar Sikap Kritis
Akal (‘aql) dalam Islam adalah instrumen utama manusia untuk memahami perintah Allah. Imam Al-Ghazali menyatakan dalam Al-Mustasfa, bahwa akal adalah syarat utama keberlakuan hukum: "La taklîfa illâ bi 'aqlin" (tidak ada beban hukum kecuali dengan akal). Ini berarti manusia memiliki peran aktif untuk mempertimbangkan, menganalisis, dan mengevaluasi hukum sesuai konteks dan tujuan syariah (maqashid asy-syariah).
Imam Asy-Syafi’i menegaskan dalam Ar-Risalah bahwa nash (teks) harus difahami melalui akal sehat dan konteks, membuka ruang pemikiran kritis dan penalaran fiqh.

Musyawarah dan Amar Ma’ruf sebagai Ekspresi Kritis
Sikap kritis juga tercermin dalam ajaran amar ma’ruf nahi munkar dan syura. Dalam tafsirnya, Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa amar ma’ruf bukan sekadar anjuran, tapi kewajiban sosial-politik yang melekat pada umat Islam: "Kewajiban umat bukan hanya taat, tetapi juga mengoreksi penguasa jika menyimpang dari keadilan syariah."
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Dawud)
Ini adalah dasar normatif untuk menyatakan bahwa umat Islam tidak hanya boleh, tapi wajib mengkritisi hukum atau kebijakan jika bertentangan dengan prinsip keadilan.

Peran Ijtihad dan Pembaruan Hukum
Sikap kritis terlembagakan dalam mekanisme ijtihad. Mazhab Hanafi, misalnya, sangat menekankan penggunaan ra’yu (penalaran). Abu Hanifah menyatakan bahwa jika tidak ada nash, maka digunakan qiyas dan istihsan demi kemaslahatan umat.
Sementara itu, Imam Malik mengandalkan ‘amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah) sebagai basis empiris—suatu bentuk kritisisme sosial terhadap teks semata. Ini menunjukkan bahwa ulama mazhab tidak bersifat tekstualis mutlak, tapi kritis dan kontekstual.

Manusia sebagai Mukallaf dan Subjek Hukum
Konsep mukallaf (individu yang dibebani hukum) menegaskan bahwa hanya mereka yang memiliki akal dan kesadaran moral yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Hal ini meneguhkan bahwa dalam Islam, hukum tidak berlaku secara otoriter, melainkan dalam relasi etis antara kehendak bebas dan tanggung jawab.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah menekankan dalam I’lām al-Muwaqqi‘īn bahwa hukum harus berubah sesuai waktu dan tempat: "Syariat dibangun atas hikmah dan kemaslahatan, dan hukum yang bertentangan dengan keadilan bukan bagian dari syariat meski ditakwilkan demikian."

Kesimpulan, Dalam hukum Islam, manusia tidak diposisikan sebagai objek hukum pasif, tetapi sebagai makhluk kritis yang diberi akal, kehendak bebas, dan tanggung jawab. Sikap kritis bukan hanya diizinkan, tapi diperintahkan dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar, musyawarah, dan ijtihad. Oleh karena itu, hukum Islam adalah sistem yang hidup, yang meniscayakan keterlibatan intelektual umat demi menegakkan keadilan, kemaslahatan, dan nilai-nilai ilahiah. (*)

0 Komentar